Rabu, 20 Februari 2013

pahlawan

Nama tokoh yang satu ini mungkin tidak asing lagi bagi kita semua, apalagi bagi kita yang berasal dari Sumatera Barat (Minangkabau). Beliau merupakan salah satu dari pahlawan nasional Republik Indonesia dari tanah Sumatra. Kita semua mengenalnya dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Sejatinya sosok Imam Bonjol merupakan seorang ulama. Namun karena pada saat itu terjadi tindakan yang semena-mena dari Belanda membuat Tuanku Imam Bonjol berontak kepada pihak Belanda hingga terjadi perang antara rakyat minang yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda. Pepeperangan ini kita kenal dengan nama Perang Padri yang terjadi pada tahun 1803-1838.

1. Biografi Lengkap Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia pada tahun 1772.  Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Beliau merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Sejatinya ayah dari Tuanku Imam Bonjol merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai alim ulama dan pemimpin bagi masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dan akhirnya sampai sekarang ia lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

2. Riwayat Perjuangan Tuanku Imam Bonjol


Perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa kita. Hampir selama 18 tahun (1803-1821) lamanya perang itu terjadi dan praktis yang berperang pada saat itu adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya Perang Padri ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah SAW. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan yang dilakukan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama pada saat itu) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada  tanggal 21 Februari 1821, kaum Adat membuat keputusan mengejutkan dengan bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman daerah Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda. Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? yang artinya "Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?"

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapten Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Setelah datang bala bantuan yang banyak dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit dan terdesak, namun beliau berprinsip tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol. Bonjol merupakan sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Setelah peperangan yang lama dan sengit pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol akhirnya dapat dikuasai oleh pihak Belanda.

Tetap pada awal bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk melakukan perunding. Tiba di tempat perundingan tersebut, beliau langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat pengasingan terakhirnya ini, beliau menghembuskan nafas terakhir tepatnya pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Heroiknya kisah perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol untuk mengusir Belanda dari tanah air patut diapresiasi. Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol resmi diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973 mewakili perjuangan dari tanah Sumatra (Minangkabau).

Tak hanya itu sebagai rasa terimakasih kepada perjuangan beliau, nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.